ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
1.      Keperdataan: menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.      Administrasi Negara: menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
3.      Ketenagakerjaan: menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
4.      Pidana: menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang diperkenankan.
Kontrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.


KLAIM KONTRAK KERJA KONSTRUKS
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:
1.      Para pihak
2.      Isi atau rumusan pekerjaan
3.      Jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4.      Tenaga ahli
5.      Hak dan kewajiban para pihak
6.      Tata cara pembayaran
7.      Cidera janji
8.      Penyelesaian tentang perselisihan
9.      Pemutusan kontrak kerja konstruksi
10.  Keadaan memaksa (force majeure)
11.  Tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12.  Perlindungan tenaga kerja
13.  Perlindungan aspek lingkungan
Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi:
1.      Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan
2.      Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi
3.      Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
4.      Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
5.      Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Klaim konstruksi adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya pengalaman pemberi order pekerjaan.



KONTRAK FIDIC

Kontrak FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari yurisdiksi yang berbeda.
The International Federation of Consulting Engineers, lebih dikenal sebagai FIDIC, dibentuk pada 1913, di Belgia. Hari ini, FIDIC adalah badan perwakilan internasional terbesar global yang terbentuk dari asosiasi nasional insinyur konsultasi, yang berasal dari lebih dari 100 negara di seluruh dunia.[1] Bentuk standar pertama kontrak konstruksi FIDIC, dikenal sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957. Versi pertama dari FIDIC Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik yang itu sendiri dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh Institution of Civil Engineers.[2] Hal ini menjelaskan banyak fitur hukum umum dari Suite FIDIC Kontrak, di kali disambut dengan skeptis oleh pengacara sipil.
FIDIC Buku Merah adalah standar, dan yang paling umum digunakan, bentuk kontrak konstruksi di semua proyek di mana desain yang disediakan oleh Pemberi Kerja, mengikuti rute pengadaan tradisional Desain, Bid dan Build. Kontraktor dibayar secara pengukuran untuk jumlah sebenarnya pekerjaan yang dilakukan. Jumlah Kontrak yang diterima didasarkan pada jumlah diperkirakan. Buku Merah telah secara signifikan berkembang sejak edisi pertama diterbitkan di 1957. Disebut Bank Pembangunan Multilateral (“MDB”) merah muda Book, pada dasarnya adalah sebuah amandemen terhadap Buku Merah diterbitkan di 2005, dikembangkan untuk digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh Bank. Itu 2010 Merah muda Book diganti edisi sebelumnya dari 2005 dan 2007.
Tipe kedua Kontrak FIDIC, disebut FIDIC Buku Kuning, adalah kontrak standar di mana desain dilakukan oleh Kontraktor. Buku Kuning juga dikenal sebagai kontrak Tanaman dan Design-Build. Kontraktor biasanya dibayar secara lump sum. The Yellow Book diterbitkan untuk pertama kalinya di 1963, dengan revisi berikutnya.
Pada tahun 1990, mengikuti tren di industri konstruksi, perubahan yang signifikan terhadap kontrak FIDIC asli diperkenalkan dan FIDIC Perak Buku diterbitkan. Buku Perak digunakan untuk proyek-proyek EPC / Turnkey mana mayoritas risiko dialokasikan kepada Kontraktor. Desain dilakukan oleh Kontraktor dan pembayaran biasanya secara lump sum.
The FIDIC Red, Buku Kuning dan Silver diterbitkan bersama-sama pada bulan September 1999, dalam apa yang dikenal sebagai FIDIC Rainbow Suite. The FIDIC Rainbow Suite telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa yang berbeda dalam upaya untuk menghindari masalah dengan terjemahan tidak resmi dan tidak akurat. Bahasa mana FIDIC Rainbow Suite telah diterjemahkan termasuk Perancis, Cina, Arab, Polandia, Portugis, Rumania, Rusia, Spanyol, Turki dan Vietnam.
FIDIC Buku Putih, atau Konsultan Perjanjian Klien / Model Layanan, lain adalah bagian penting dan terkenal dari Suite FIDIC. Versi terbaru diterbitkan di 2017 dan saat ini salah satu bentuk yang paling banyak digunakan kontrak jasa profesional internasional. Edisi kedua dari Perjanjian-Konsultasi Sub menyertai Buku Putih juga telah diterbitkan.
Lain, kurang terkenal kontrak FIDIC termasuk yang disebut Buku hijau, yang merupakan kontrak bentuk pendek ditujukan untuk proyek-proyek yang relatif kecil yang bersifat berulang atau durasi pendek di mana Majikan menyediakan desain. Berdasarkan pedoman FIDIC, USD 500,000 dan 6 bulan dianggap sebagai batas yang wajar pada modal dan durasi untuk proyek-proyek di mana bentuk Buku Hijau digunakan.
Bentuk lain dari FIDIC kontrak adalah apa yang disebut Buku emas. Edisi pertama Kitab Emas diterbitkan di 2008 dan didasarkan pada desain khas dan membangun bentuk kontrak di mana masa operasi dan pemeliharaan telah ditambahkan. Buku Emas mencakup berbagai kompleks layanan yang berbeda dan dimaksudkan untuk berlanjut setelah masa 20 tahun di mana pihak-pihak yang berniat untuk memperpanjang kerjasama mereka sepanjang durasi proyek.
Akhirnya, yang kurang dikenal apa yang disebut FIDIC Blue Book Kontrak diterbitkan di 2006 dan merupakan bentuk kontrak untuk pengerukan, reklamasi dan pekerjaan konstruksi tambahan dengan berbagai macam pengaturan administrasi. Biasanya, itu adalah Majikan yang bertanggung jawab dari desain dan bagian yang paling penting dari kontrak Blue Book adalah deskripsi dari kegiatan itu sendiri, didefinisikan secara rinci dalam spesifikasi, gambar dan desain pekerjaan.
Jenis Kontrak yang akan dipilih oleh Pemberi Kerja atau pihak tergantung pada kebutuhan masing-masing proyek dan kepentingan Majikan dan preferensi siapa yang harus bertanggung jawab atas desain. Buku Merah secara alami akan lebih baik jika Majikan memiliki lebih banyak pengalaman dalam desain dan ingin memiliki peran penting dalam proses desain. Jika tidak, Majikan dapat memilih untuk Buku Kuning atau bentuk lain dari Suite FIDIC. Silver Book biasanya lebih disukai jika tidak ada risiko besar yang tidak diketahui ada dan Majikan lebih memilih untuk memiliki keamanan yang lebih dari segi harga dan waktu.
Semua Kontrak FIDIC memiliki fitur umum tertentu dan mengakui perlunya pendekatan yang seimbang antara peran dan tanggung jawab pihak yang terlibat, serta alokasi seimbang dan manajemen risiko. Semua dari mereka terdiri dari Syarat Umum Kontrak yang (“GCC”), yang dianggap cocok dalam semua kasus, dan Ketentuan khusus Kontrak (“PCC”), di mana para pihak dapat menentukan isu-isu spesifik proyek atas dasar kasus per kasus. Semua Kontrak FIDIC juga termasuk aturan untuk adaptasi jumlah kontrak yang telah disepakati dan aturan untuk perpanjangan waktu untuk penyelesaian dan variasi prosedur. Mereka semua membutuhkan pengalaman dan staf terampil, baik atas nama Pemberi Kerja serta atas nama Kontraktor, termasuk Engineer, yang menjadi independen dan tidak memihak.
Selanjutnya, kebanyakan bentuk FIDIC menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa multi-tier. Tergantung pada jenis kontrak FIDIC, metode yang paling umum-digunakan untuk penyelesaian sengketa adalah empat langkah: pertama, keputusan Direksi Pekerjaan, yang agen Majikan mengelola proyek konstruksi; kedua, keputusan Direksi Pekerjaan dapat direvisi oleh Dewan Sengketa Ajudikasi (“COLEK”), yang merupakan panel independen ahli satu atau tiga konstruksi yang mengeluarkan keputusan mereka; ketiga, pihak harus berusaha penyelesaian damai sengketa mereka; dan, akhirnya, obat terakhir adalah untuk sengketa untuk diselesaikan dengan mengikat arbitrase atau pengadilan nasional, tergantung pada kesepakatan para pihak dalam Kondisi khusus Kontrak.



DISPUTE atau SENGKETA

Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya.
Berikut ini beberapa pengertian sengketa dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Chomzah (2003:14), sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. 
  • Menurut Amriani (2012:12), sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. 
  • Menurut Rahmadi (2011:1), konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.
Terdapat dua jenis sengketa, yaitu sebagai berikut:
a.   Konflik Interest
Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak merebutkan satu objek.
b.   Klaim Kebenaran
Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain bersalah. Konflik karena klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau salah. Argumen klaim ini akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan kepentingan, norma-norma dan hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis penyelesaiannya dibanding konflik karena klaim kebenaran.


Tahap-tahap Terjadinya Sengketa. Terjadinya sengketa biasanya ditandai dengan tahapan sebagai berikut:
  1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilan itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu merasakan haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah.
  2. Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka. 
  3. Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan

Penyebab Terjadinya Sengketa
Menurut Rahmadi (2011:8), terdapat enam teori penyebab terjadinya sengketa di masyarakat, yaitu:
a. Teori Hubungan masyarakat 
Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam masyarakat.
b. Teori Negosiasi prinsip 
Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.
c. Teori identitas 
Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.
d. Teori kesalahpahaman antar budaya 
Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotip yang mereka miliki terhadap pihak lain.
e. Teori transformasi 
Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.
f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia 
Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.
Penyelesaian Sengketa 
Menurut Pruitt dan Rubin (2004:4), terdapat lima cara penyelesaian sengketa, yaitu:
  1. Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya. 
  2. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan. 
  1. Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak. 
  2. With drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.
  3. In action (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.
  4.  
Sedangkan menurut Nader dan Todd Jr (1978:9), terdapat tujuh cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu:
  1. Lumpingit (membiarkan saja), oleh pihak yang merasakan perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya. 
  2. Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut, misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja. 
  3. Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. 
  4. Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada. 
  5. Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu. 
  6. Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut. 
  7. Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


KONFLIK MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH
(STUDI KASUS SENGKETA TANAH ADAT)


PENDAHULUAN


Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia. Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban umat manusia. Di mana tanah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan masalah-masalah transedental (Heru Nugroho, 2005 dalam Supriyanto, 2008:
Berdasarkan uraian di atas maka tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris. Oleh karena itu setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Menyadari nilai dan arti penting tanah bagi kehidupan manusia, maka para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), yakni: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini menandakan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya secara adil. Namun amanat tersebut nampaknya saat ini sangat jauh untuk terpenuhi sebagaimana yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Meski tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, namun ternyata struktur kepemilikan tanahnya masih timpang. Sehingga tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak memiliki tanah. Ketimpangan atas pemilikan tanah inilah yang sering menimbulkan permasalahan tanah di negara agraria khusunya Indonesia yang menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya konflik agraria.
Bagi masyarakat Indonesia ketimpangan atas kepemilikan tanah masih kontraks terutama dalam hal pembangunan. Dimana, perkembangan masyarakat yang cukup pesat dan kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan luas tanah yang tidak pernah bertambah. Ketimpangan ini sangat kontras dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang rata-rata masih berada di bawah angka kemiskinan. Kenyataan ini tidak dapat dihindari karena tanah merupakan aset ekonomi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan bagi pemiliknya juga merupakan aset politik dalam pengambilan keputusan dimasyarakat. Tidak heran jika sekarang tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang ada didalamnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik agraria.
Selain konflik agraria, perebutan tanah adat terus terjadi dan masih terus berlangsung sampai sekarang ini. Ruwiastuti (2000) menyatakan bahwa sengketa-sengketa agraria yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat setempat di seluruh Indonesia adalah persengketaan mengenai penguasaan sumber-sumber ekonomi dan berpangkal pada budaya sehari-hari diyakini dan dijamin sebagai hak-hak adat mereka, seperti hutan-hutan perburuan, hutan-hutan belukar bekas ladang, padang-padang pegembalaan ternak, dan ladang-ladang tanaman semusim.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.       Mengapa terjadi Sengketa Tanah Adat antara masyarakat dengan Pemerintah Kab. Sinjai?
2.      Bagaimana bentuk perlawanan masyarakat terhadap Pemerintah dalam sengketa Tanah adat di Kab. Sinjai?

PEMBAHASAN

1.      Sengketa Tanah Adat di Indonesia
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dalam Pasal 5 : Menyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, ialah hukum adat. Dan dalam pasal 17 adanya pengakuan sistim kepemilikan tanah secara bersama/komunal, namun pemberlakuan hukum adat tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa artinya, bila kepentingan bangsa menghendaki, hukum adat dapat saja dikalahkan. Dalam hal ini perubahan masyarakat hukum adat dipengaruhi oleh politik hukum pemerintah, tanpa dipengaruhi hukum pun masyarakat akan mengalami perubahan baik secara cepat maupun secara lambat artinya tidak ada ataupun masyarakat yang statis (berhenti) pada suatu titik tertentu di dalam perkembangannya.
Konsep penguasaan tanah dalam sistem ini berdasarkan hak ulayat, yaitu suatu hak masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar serta ke dalam. Dalam cakupan hak ulayat ini terdapat hak individual atas tanah yaitu hak yang lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah (kosong). Hubungan antara hak ulayat ( yang dimimiliki oleh masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan ) dengan hak individual merupakan hubungan yang lentur/fleksibel (Afrizal, 2006).
Bagi masyarakat tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang bersifat kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan apapun, di samping itu tanah berfungsi sebagai tempat tinggal bagi warga masyarakat dan tempat mereka mencari kehidupan dan sebagai tempat nantinya di mana mereka akan dikuburkan kalau meninggal dunia. Oleh karena itu tanah adat erat kaitanya dengan kewenangan dari masyarakat adat itu sendiri untuk menguasai tanah adat (tanah ulayat) tersebut. Karena tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris, maka setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Fenomena yang terjadi saat ini di masyarakat bahwa memang banyak terjadi masalah- masalah sosial seperti adanya sengketa tanah. Sengketa tanah ini terjadi dalam tiga golongan yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis (pengusaha). Mereka memperebutkan sumber-sumber agraria yang dapat berupa lahan , bahan tambang, dan sumber air. Perebutan tersebut menampilkan isu-isu hak-hak masyarakat setempat terhadap sumber-sumber agraria berlawanan dengan hak-hak negara.
Masing-masing pihak mengklaim bahwa sumber-sumber agraria milik mereka. Hal itulah mengakibatkan terjadinya perlawanan antara masyarakat setempat dengan pemeritah. Dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dengan cara tidak saling dirugikan atau diuntungkan salah satu pihak, baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat atau singkatnya harus menemukan solusi yang baik dari berbagai pihak. Namun fakta yang terjadi dilapangan bahwa perebutan tanah tersebut akan dimenangkan oleh pihak yang memiliki modal atau berkuasa.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan.
Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal, pengembang perumahan- perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Penggusuran tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan negara atas nama pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan kepentingan individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut biasanya dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak adil bagi pemilik tanah.
Hasil penelitian Suardi (2004) menunjukkan bahwa adanya konflik agraria yang terjadi dilatarbelakangi oleh keadaan yang dia jelaskan sebagai berikut; pertama, terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang cukup tajam pada dua desa penelitian. Kedua, perlawanan petani muncul yang disebabkan beberapa faktor; (a) kebijakan disektor perkebunan yang cenderung lebih menguntungkan pemilik modal besar, (b) kapitalisasi sektor perkebunan menyebabkan disatu pihak terakumulasinya tanah di bawah penguasaan pemilik modal besar, di sisi lain petani menjadi termarginalkan, (c) kondisi social ekonomi petani yang buruk karena tanah sebagai sumber mendapatkan nafkah hidup penguasaannya didominasi oleh sekelompok kecil pemilik modal. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan \ bahwa perlawanan petani di dua Desa didasari keinginan melepaskan diri dari keadaanya yang subsistens akibat ketidakadilan struktur agrarian dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya.
Sengketa, konflik dan perkara pertanahan sepertinya tidak pernah surut, bahkan cenderung terus meningkat baik intensitas maupun keragamannya, seiring dengan semakin sulitnya akses untuk memiliki tanah dan bertambahnya kesenjangan posisi tawar-menawar antara ketiga aktor pembangunan yakni pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
Penyebab permasalahan tentang sengketa tanah tidak tuntas atau tidak terselesaikan di karenakan penanganan persoalan yang kurang tepat atau tidak tuntas pada masa yang lalu. Di samping kenaikan harga tanah yang meningkat menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tanpa didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi bertambah rumit bila ada campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Masalah akan sulit diselesaikan apabila para pihak merasa paling benar dan tidak mau bermusyawarah.
Di tambah lagi sebagian besar persoalan yang muncul berkaitan dengan kasus-kasus pertanahan (khususnya tanah perkebunan) di seluruh Indonesia disebabkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa perkebunan dengan masyarakat yang bermukim di sekitarnya dan disertai adanya intervensi negara yang masih dominan didukung pula dengan perlakuan yang represif dari militer dengan dalih “demi dan atas nama” stabilitas nasional.
Kondisi sebagaimana gambaran di atas sebenarnya bukan suatu hal yang baru tetapi merupakan sebuah problem yang sudah lama ada, akan tetapi baru pada saat sekarang ini nampak mengedepan, karena faktor kebebasan dan euphoria yang berlebihan dari perubahan rezim yang awalnya otoriter ke rezim yang lebih longgar.
Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusya problem pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya menyisakan problem yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang, yakni pertama, masih cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini belum ada penjabaran yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah. Kedua, ada juga UU pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999 (LN. 167 tahun 1999), yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan  besar  loging kayu hutan alami dimana jelas ada intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh penduduk pribumi (woeste gronden)( Pelzer, 1991:10).
Oleh karena itu, dalam pandangan teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (Wikipedia, 2015)).
Teori konflik menegaskan bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan di antara beberapa tokoh. Dahrendorf meskipun menerima teori konflik Karl Marx mengenai pertentangan klas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Namun dia memodifikasinya berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan klas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan klas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran klas. Klas yang dimaksud adalah klas yang berkuasa dan dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan (Wikipedia 2015).
Dahrendorf melihat bahwa terbentuknya klas sosial tidak selalu deterministik ekonomi, akan tetapi pada perkembangannya struktur politiklah (tentang kekuasaan) yang dominan membentuk klas sosial (yang berkuasa dan dikuasai).
Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superordinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat. Dalam konflik agraria hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi terjadi karena adanya dominasi atas penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh kelompok superodinat yang menyebabkan kelompok subordinat terabaikan dari hak-haknya.

2.     Perlawanan Petani dalam Konflik Agraria di Indonesia

Berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai oleh orang Belanda. Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh petani. Dengan adanya hal itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pertanahan.
Kebijakan pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan. Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis.
UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Hal ini disebabkan munculnya sejumlah undang-undang lain  yang justru bertentangan dengan UUPA diterapkan, Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hak- hak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para pemilik modal (Fauzi, 1999: 158).
Akibatnya yang terjadi adalah rakyat kecil kehilangan tanah oleh mereka yang memiliki modal yang sekarang menjadi oligarki politik. Mereka adalah yang punya uang atau yang punya politik, jadi tidak ada yang berjuang untuk rakyat. Pada masa Orde Baru pemerintah telah menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria. Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan adalah realitas sosial yang menyedihkan dan memiskinkan petani. Pemerintah terus menyetujui pembangunan perkebunan yang harus merampas tanah-tanah hak ulayat rakyat di berbagai daerah.
Akibat dari kebijakan pemerintah tentang pembangunan perkebunan telah memarjinalkan pengelolaan sumber-sumber agraria oleh komunitas lokal yang berbasis hukum adat dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada kepentingan komunitas lokal yang dijalankan dengan cara tertentu, perilaku aparat negara dalam mengelola pembangunan dan perilaku bisnis yang mengeyampingkan aspirasi dan hak komunitas lokal maka terjadilah perlawanan penduduk atau komunitas lokal untuk menuntut hak-hak agraria mereka.
Tuntutan-tuntutan itu berupa tuntutan atas rasa keadilan oleh penduduk atau komunitas lokal yang tanahnya diambil secara paksa atau diklaim sebagai tanah milik pemerintah dengan cara-cara kekerasan atau dengan cara-cara yang tidak menghargai masyarakat sebagai subjek dalam hal ini penduduk atau komunitas lokal yang telah lama memiliki tanah tersebut, atau sebagai kelompok yang mempunyai kepentingan yang harus dilindungi oleh aparatur negara atau bisnis. Hal inilah yang membuat banyak petani di Indonesia melakukan protes-protes atau perlawanan semenjak bergulirnya reformasi untuk menuntut hak mereka terhadap tanah yang telah lama dukuasai oleh perusahaan atau pemerintah.
Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang seringkali memunculkan perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.
Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott (2000:40) sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang, mencuri kecil-kecilan, dan sebagainya.
Perlawanan petani yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia juga menggejala di  Sulawesi Tengah. Sejak sebelum reformasi perlawanan dan resistensi petani yang menandai konflik agraria di daerah ini paling tidak berkaitan dengan tiga isu utama yaitu, pertama, penguasaan tanah perkebunan yang sukup luas oleh perusahaan swasta. Kedua, penguasaan hutan oleh perusahaan swasta yang memperoleh hak penguasaan hutan (HPH) dari pemerintah. Ketiga, alih fungsI lahan pertanian ke-non pertanian yang biasanya dilakukan dengan cara-cara paksaan, intimidasi, dan ganti rugi yang tidak layak. Baik penguasaan tanah perkebunan, maupun panguasaan hutan serta alih fungsi lahan cenderung menjauhkan akses petani terhadap sumber- sumber daya agrarian tersebut (Rasyid, 2004)
Budianto (2015) dalam penelitianya tentang perlawanan petani dalam konflik agraria antara masyarakat Takalar dengan PTPN XIV menyatakan bahwa konflik agraria di Kabupaten Takalar merupakan sengketa atas lahan yang diklaim oleh masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) sebagai pemiliknya atas dasar kepemilikan dan penguasaan secara turun temurun serta batas waktu kontrak 25 tahun yang dipahami oleh mereka terhitung sejak tahun 1980. Di lain sisi, pihak PTPN XIV menguasai lahan dengan dasar kepemilikan hak guna usaha (HGU). Selain dasar klaim kepemilikan yang menyebabkan perlawanan petani terhadap penguasaan lahan oleh PTPN XIV, faktor yang turut mendorong perlawanan petani, yaitu faktor sosial ekonomi karena sejak penguasaan lahan oleh PTPN XIV, sangat banyak dampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Selanjutnya Weber (dalam Ritzer, 2007) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya kepada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Keadaan ini yang kemudian akan mmenimbulkan kondisi yang sering kali berujung pada tindakan kekerasan.
Bagi masyarakat atau penduduk setempat, mereka melakukan aksi-aksi kolektif untuk mempertahankan tanah yang mereka miliki, untuk menuntu ganti rugi yang layak, untuk menuntut royalti atau pembayaran tetap atas tanah ulayat mereka yang dipakai oleh bisnis untuk keperluan akumulasi kapital, dan untuk menagih janji perusahaan dan pemerintah. Aparat pemerintah dan manejemen perusahaan cenderung memakai cara sederhana dan cepat untuk memecahkan masalah, dengan cara melakukan aksi-aksi kekerasan dengan melibatkan pihak keamanan polisi dan tentara.
Lucas dalam Afrizal mengatakan bahwa Fenomena konflik agraria di Indonesia sebagai fenomena yang penuh dengan penindasan dan kekerasan (2006:15). Hal inilah yang membuat aktivis-aktivis lokal protes agraria melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan. Namum usaha-usaha damai yang dilakukan oleh masyarakat tidak ditanggapi oleh pihak pemerintah atau perusahaan.

PENUTUP


Kesimpulan :

Berdasarkan uraian diatas kita simpulkan bahwa Sengketa tanah dapat terjadi akibat adanya keinginan untuk menguasai sumber daya tanah. Selain itu ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah untuk kepentingan tertentu sehingga terjadilah Konflik agraria dan perebutan tanah adat, bahkan konflik agraria saat ini semakin massif dengan fenomena yang semakin menonjol adalah pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek perusahaan swasta dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya konflik agraria dan sengketa tanah adat merupakan sumber daya yang selalu mengorbankan rakyat secara terus menerus. Adapun bentuk perlawanan masyarakat yaitu dengan melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan.

Saran :

Dari pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis kiranya penting memberikan saran dalam tulisan ini sebagai masukan dalam mencegah atau menghadapi konflik yang terjadi. Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.       Kepada seluruh elemen terkait khususnya institusi pemerintahan mulai dari pemerintah Kabupaten Sinjai , Provinsi Sul-Sel hingga Nasional, agar dapat  mempertimbangkan  situasi objektif tuntutan masyarakat . Hal ini ditujukan agar dapat menemukan satu resolusi konflik yang berkeadilan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
2.      Kepada pihak Pemerintah agar dapat meningkatkan perhatian terhadap problem-problem masyarakat sekitar, terutama pada persoalan kebutuhan masyarakat, dukungan terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarkatan serta instansi pemerintahan desa dan kecamatan setempat.
3.      Diharapkan kepada seluruh pimpinan organisasi STP agar dapat mengkoordinasikan seluruh anggota masyarkat yang dinaungi oleh organisasi. Hal ini ditujukan untuk lahirnya sinergitas antara kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam solusi yang akan dihasilkan agar tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


DAFTAR PUSTAKA




Read more »»