ASPEK HUKUM DALAM
PEMBANGUNAN
Pada pelaksanaan Jasa
Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
1.
Keperdataan: menyangkut
tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa
konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan
harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.
Administrasi Negara:
menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses
pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
konstruksi.
3.
Ketenagakerjaan: menyangkut
tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa
konstruksi.
4.
Pidana: menyangkut tentang
tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai
hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada
Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari
perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut
asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338
KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian
adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang
empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1.
Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya.
2.
Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan.
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang diperkenankan.
Kontrak
dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif
tersebut.
KLAIM KONTRAK
KERJA KONSTRUKS
Pengaturan hubungan kerja
konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam
kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat
sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:
1.
Para pihak
2.
Isi atau rumusan pekerjaan
3.
Jangka pertanggungan
dan/atau pemeliharaan
4.
Tenaga ahli
5.
Hak dan kewajiban para pihak
6.
Tata cara pembayaran
7.
Cidera janji
8.
Penyelesaian tentang
perselisihan
9.
Pemutusan kontrak kerja
konstruksi
10. Keadaan
memaksa (force majeure)
11. Tidak
memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12. Perlindungan tenaga kerja
13. Perlindungan
aspek lingkungan
Khusus menyangkut dengan
kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan
tentang hak atas kekayaan intelektual. Formulasi rumusan pekerjaan meliputi
lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup
kerja ini meliputi:
1.
Volume pekerjaan, yakni
besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan
2.
Persyaratan administrasi,
yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi
3.
Persyaratan teknik, yakni
ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
4.
Pertanggungan atau jaminan
yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan,
penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
5.
Laporan hasil pekerjaan
konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang
akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup
pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan
keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Klaim konstruksi adalah
permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan
suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau
antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau
antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang biasanya mengenai
permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
Sebagian besar klaim yang
terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat
disebabkan kurangnya pengalaman pemberi order pekerjaan.
KONTRAK FIDIC
Kontrak FIDIC adalah bentuk
standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi internasional di dunia
saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan dalam kedua proyek
konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak dari kebangsaan yang
berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari yurisdiksi yang
berbeda.
The International Federation of Consulting Engineers, lebih dikenal sebagai FIDIC, dibentuk pada 1913, di Belgia. Hari ini, FIDIC adalah badan perwakilan internasional terbesar global yang terbentuk dari asosiasi nasional insinyur konsultasi, yang berasal dari lebih dari 100 negara di seluruh dunia.[1] Bentuk standar pertama kontrak konstruksi FIDIC, dikenal sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957. Versi pertama dari FIDIC Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik yang itu sendiri dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh Institution of Civil Engineers.[2] Hal ini menjelaskan banyak fitur hukum umum dari Suite FIDIC Kontrak, di kali disambut dengan skeptis oleh pengacara sipil.
The International Federation of Consulting Engineers, lebih dikenal sebagai FIDIC, dibentuk pada 1913, di Belgia. Hari ini, FIDIC adalah badan perwakilan internasional terbesar global yang terbentuk dari asosiasi nasional insinyur konsultasi, yang berasal dari lebih dari 100 negara di seluruh dunia.[1] Bentuk standar pertama kontrak konstruksi FIDIC, dikenal sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957. Versi pertama dari FIDIC Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik yang itu sendiri dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh Institution of Civil Engineers.[2] Hal ini menjelaskan banyak fitur hukum umum dari Suite FIDIC Kontrak, di kali disambut dengan skeptis oleh pengacara sipil.
FIDIC Buku Merah adalah
standar, dan yang paling umum digunakan, bentuk kontrak konstruksi di semua
proyek di mana desain yang disediakan oleh Pemberi Kerja, mengikuti rute
pengadaan tradisional Desain, Bid dan Build. Kontraktor dibayar secara
pengukuran untuk jumlah sebenarnya pekerjaan yang dilakukan. Jumlah Kontrak
yang diterima didasarkan pada jumlah diperkirakan. Buku Merah telah secara
signifikan berkembang sejak edisi pertama diterbitkan di 1957.
Disebut Bank Pembangunan Multilateral (“MDB”) merah muda Book, pada dasarnya
adalah sebuah amandemen terhadap Buku Merah diterbitkan di 2005, dikembangkan
untuk digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh Bank. Itu
2010 Merah muda Book diganti edisi sebelumnya dari 2005 dan 2007.
Tipe kedua Kontrak FIDIC,
disebut FIDIC Buku Kuning, adalah kontrak standar di mana desain
dilakukan oleh Kontraktor. Buku Kuning juga dikenal sebagai kontrak Tanaman dan
Design-Build. Kontraktor biasanya dibayar secara lump sum. The Yellow Book
diterbitkan untuk pertama kalinya di 1963, dengan revisi berikutnya.
Pada tahun 1990, mengikuti
tren di industri konstruksi, perubahan yang signifikan terhadap kontrak FIDIC
asli diperkenalkan dan FIDIC Perak Buku diterbitkan. Buku Perak
digunakan untuk proyek-proyek EPC / Turnkey mana mayoritas risiko dialokasikan
kepada Kontraktor. Desain dilakukan oleh Kontraktor dan pembayaran biasanya secara
lump sum.
The FIDIC Red, Buku Kuning
dan Silver diterbitkan bersama-sama pada bulan September 1999, dalam apa yang
dikenal sebagai FIDIC Rainbow Suite. The FIDIC Rainbow Suite telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa yang berbeda dalam upaya untuk
menghindari masalah dengan terjemahan tidak resmi dan tidak akurat. Bahasa mana
FIDIC Rainbow Suite telah diterjemahkan termasuk Perancis, Cina, Arab, Polandia,
Portugis, Rumania, Rusia, Spanyol, Turki dan Vietnam.
FIDIC Buku Putih, atau
Konsultan Perjanjian Klien / Model Layanan, lain adalah bagian penting dan
terkenal dari Suite FIDIC. Versi terbaru diterbitkan di 2017 dan saat ini salah
satu bentuk yang paling banyak digunakan kontrak jasa profesional
internasional. Edisi kedua dari Perjanjian-Konsultasi Sub menyertai Buku Putih
juga telah diterbitkan.
Lain, kurang terkenal
kontrak FIDIC termasuk yang disebut Buku hijau, yang merupakan
kontrak bentuk pendek ditujukan untuk proyek-proyek yang relatif kecil yang
bersifat berulang atau durasi pendek di mana Majikan menyediakan desain.
Berdasarkan pedoman FIDIC, USD 500,000 dan 6 bulan dianggap sebagai batas yang
wajar pada modal dan durasi untuk proyek-proyek di mana bentuk Buku Hijau
digunakan.
Bentuk lain dari FIDIC
kontrak adalah apa yang disebut Buku emas. Edisi pertama Kitab Emas
diterbitkan di 2008 dan didasarkan pada desain khas dan membangun bentuk
kontrak di mana masa operasi dan pemeliharaan telah ditambahkan. Buku Emas
mencakup berbagai kompleks layanan yang berbeda dan dimaksudkan untuk berlanjut
setelah masa 20 tahun di mana pihak-pihak yang berniat untuk memperpanjang
kerjasama mereka sepanjang durasi proyek.
Akhirnya, yang kurang
dikenal apa yang disebut FIDIC Blue Book Kontrak diterbitkan di 2006
dan merupakan bentuk kontrak untuk pengerukan, reklamasi dan pekerjaan
konstruksi tambahan dengan berbagai macam pengaturan administrasi. Biasanya,
itu adalah Majikan yang bertanggung jawab dari desain dan bagian yang paling
penting dari kontrak Blue Book adalah deskripsi dari kegiatan itu sendiri,
didefinisikan secara rinci dalam spesifikasi, gambar dan desain pekerjaan.
Jenis Kontrak yang akan
dipilih oleh Pemberi Kerja atau pihak tergantung pada kebutuhan masing-masing
proyek dan kepentingan Majikan dan preferensi siapa yang harus bertanggung
jawab atas desain. Buku Merah secara alami akan lebih baik jika Majikan
memiliki lebih banyak pengalaman dalam desain dan ingin memiliki peran penting
dalam proses desain. Jika tidak, Majikan dapat memilih untuk Buku Kuning atau
bentuk lain dari Suite FIDIC. Silver Book biasanya lebih disukai jika tidak ada
risiko besar yang tidak diketahui ada dan Majikan lebih memilih untuk memiliki
keamanan yang lebih dari segi harga dan waktu.
Semua Kontrak FIDIC
memiliki fitur umum tertentu dan mengakui perlunya pendekatan yang seimbang
antara peran dan tanggung jawab pihak yang terlibat, serta alokasi seimbang dan
manajemen risiko. Semua dari mereka terdiri dari Syarat Umum Kontrak yang
(“GCC”), yang dianggap cocok dalam semua kasus, dan Ketentuan khusus Kontrak
(“PCC”), di mana para pihak dapat menentukan isu-isu spesifik proyek atas dasar
kasus per kasus. Semua Kontrak FIDIC juga termasuk aturan untuk adaptasi jumlah
kontrak yang telah disepakati dan aturan untuk perpanjangan waktu untuk
penyelesaian dan variasi prosedur. Mereka semua membutuhkan pengalaman dan staf
terampil, baik atas nama Pemberi Kerja serta atas nama Kontraktor, termasuk
Engineer, yang menjadi independen dan tidak memihak.
Selanjutnya, kebanyakan
bentuk FIDIC menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa multi-tier. Tergantung
pada jenis kontrak FIDIC, metode yang paling umum-digunakan untuk penyelesaian
sengketa adalah empat langkah: pertama, keputusan Direksi Pekerjaan, yang agen
Majikan mengelola proyek konstruksi; kedua, keputusan Direksi Pekerjaan dapat
direvisi oleh Dewan Sengketa Ajudikasi (“COLEK”), yang merupakan panel
independen ahli satu atau tiga konstruksi yang mengeluarkan keputusan mereka; ketiga,
pihak harus berusaha penyelesaian damai sengketa mereka; dan, akhirnya, obat
terakhir adalah untuk sengketa untuk diselesaikan dengan mengikat arbitrase
atau pengadilan nasional, tergantung pada kesepakatan para pihak dalam Kondisi
khusus Kontrak.
DISPUTE atau SENGKETA
Sengketa
atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain
Sengketa
dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik
maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal,
nasional maupun internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan
individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok,
antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara
negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya.
Berikut
ini beberapa pengertian sengketa dari beberapa sumber buku:
- Menurut Chomzah (2003:14), sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda
tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
- Menurut Amriani (2012:12), sengketa adalah suatu
situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang
kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua.
Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan
dengan sengketa.
- Menurut Rahmadi (2011:1), konflik atau sengketa
merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami
perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang
ada pada persepsi mereka saja.
Terdapat dua jenis sengketa,
yaitu sebagai berikut:
a. Konflik
Interest
Konflik
interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama terhadap
satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak
merebutkan satu objek.
b. Klaim
Kebenaran
Klaim
kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain bersalah. Konflik karena
klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau salah. Argumen klaim
ini akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan kepentingan, norma-norma
dan hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis penyelesaiannya dibanding
konflik karena klaim kebenaran.
Tahap-tahap Terjadinya Sengketa. Terjadinya sengketa biasanya ditandai dengan tahapan
sebagai berikut:
- Tahap pra-konflik atau
tahap keluhan,
yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu
kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau
dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilan
itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu
merasakan haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah.
- Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan
dimana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi,
melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya atau memberitahukan
kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap ini kedua belah
pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka.
- Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik
mengalami eskalasi berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara
umum. Suatu sengketa hanya terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan telah
meningkatkan perselisihan pendapat dari pendekatan menjadi hal yang
memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan
maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan
Penyebab Terjadinya
Sengketa
Menurut Rahmadi (2011:8),
terdapat enam teori penyebab terjadinya sengketa di masyarakat, yaitu:
a. Teori Hubungan masyarakat
Teori hubungan masyarakat,
menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam
masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap
konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan
toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam
masyarakat.
b. Teori Negosiasi prinsip
Teori negosiasi prinsip
menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan diantara
para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik
dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya
dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan
dan bukan pada posisi yang sudah tetap.
c. Teori identitas
Teori ini menjelaskan bahwa
konflik terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak
lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena
identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog
antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan
mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta
membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian
kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.
d. Teori kesalahpahaman antar budaya
Teori kesalahpahaman antar
budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam
berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna
mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotip yang
mereka miliki terhadap pihak lain.
e. Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa
konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat
bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti
perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan,
peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami
konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan
pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.
f. Teori kebutuhan atau kepentingan
manusia
Pada intinya, teori ini
mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan
manusia tidak dapat terpenuhi/terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/
pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan substantif
(substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan
kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan
prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat,
sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan
non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.
Penyelesaian Sengketa
Menurut Pruitt dan Rubin
(2004:4), terdapat lima cara penyelesaian sengketa, yaitu:
- Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan
suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang
lainnya.
- Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi
sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya
diinginkan.
- Problem solving (pemecahan
masalah),
yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak.
- With drawing (menarik
diri), yaitu memilih meninggalkan
situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.
- In action (diam), yaitu tidak melakukan
apa-apa.
Sedangkan
menurut Nader dan Todd Jr (1978:9), terdapat tujuh cara penyelesaian sengketa
dalam masyarakat, yaitu:
- Lumpingit (membiarkan
saja), oleh pihak yang merasakan
perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil
keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang menimbulkan
tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang
dirasakan merugikannya.
- Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa
dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut,
misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan
mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
- Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan
pemecahan kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang
bersifat memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya
mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.
- Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang
berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang
dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak
yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling
menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak
memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
- Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu
kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa,
atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
- Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang
bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga,
arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima
keputusan dari arbitrator tersebut.
- Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang
mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari
keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak
membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga
berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KONFLIK MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH
(STUDI KASUS SENGKETA TANAH ADAT)
PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat
manusia. Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi
setiap fase peradaban umat manusia. Di mana tanah menjadi kebutuhan dasar bagi
manusia. Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah
merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat
menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya, dapat menentukan
tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat,
tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan masalah-masalah
transedental (Heru Nugroho, 2005 dalam Supriyanto, 2008:
Berdasarkan uraian di atas maka tanah memiliki makna yang
multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris. Oleh
karena itu setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak
heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu
berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Menyadari
nilai dan arti penting tanah bagi kehidupan manusia, maka para pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya
alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), yakni: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini menandakan bahwa negara memiliki
tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dengan melakukan
pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya secara adil. Namun amanat
tersebut nampaknya saat ini sangat jauh untuk terpenuhi sebagaimana yang
diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Meski tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, namun
ternyata struktur kepemilikan tanahnya masih timpang. Sehingga tidak
mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu
berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Di satu pihak ada individu
atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun
di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak memiliki tanah. Ketimpangan
atas pemilikan tanah inilah yang sering menimbulkan permasalahan tanah di
negara agraria khusunya Indonesia yang menjadi salah satu sumber penyebab
terjadinya konflik agraria.
Bagi masyarakat Indonesia ketimpangan atas kepemilikan tanah masih
kontraks terutama dalam hal pembangunan. Dimana, perkembangan masyarakat yang
cukup pesat dan kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan luas
tanah yang tidak pernah bertambah. Ketimpangan ini sangat kontras dengan
kehidupan masyarakat pedesaan yang rata-rata masih berada di bawah angka
kemiskinan. Kenyataan ini tidak dapat dihindari karena tanah merupakan aset
ekonomi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan bagi pemiliknya juga merupakan
aset politik dalam pengambilan keputusan dimasyarakat. Tidak heran jika
sekarang tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan
adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang
ada didalamnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap
sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik agraria.
Selain konflik agraria, perebutan tanah adat terus terjadi
dan masih terus berlangsung sampai sekarang ini. Ruwiastuti (2000) menyatakan
bahwa sengketa-sengketa agraria yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat
adat setempat di seluruh Indonesia adalah persengketaan mengenai penguasaan
sumber-sumber ekonomi dan berpangkal pada budaya sehari-hari diyakini dan
dijamin sebagai hak-hak adat mereka, seperti hutan-hutan perburuan, hutan-hutan
belukar bekas ladang, padang-padang pegembalaan ternak, dan ladang-ladang
tanaman semusim.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok masalah
penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi Sengketa Tanah Adat antara masyarakat dengan Pemerintah
Kab. Sinjai?
2.
Bagaimana bentuk perlawanan
masyarakat terhadap Pemerintah dalam sengketa Tanah adat di Kab. Sinjai?
PEMBAHASAN
1.
Sengketa Tanah Adat di Indonesia
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dalam Pasal 5 :
Menyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa,
ialah hukum adat. Dan dalam pasal 17 adanya pengakuan sistim kepemilikan tanah
secara bersama/komunal, namun pemberlakuan hukum adat tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan bangsa artinya, bila kepentingan bangsa
menghendaki, hukum adat dapat saja dikalahkan. Dalam hal ini perubahan masyarakat hukum
adat dipengaruhi oleh politik hukum pemerintah, tanpa dipengaruhi hukum pun
masyarakat akan mengalami perubahan baik secara cepat maupun secara lambat
artinya tidak ada ataupun masyarakat yang statis (berhenti) pada suatu titik
tertentu di dalam perkembangannya.
Konsep penguasaan tanah dalam sistem ini berdasarkan hak ulayat, yaitu suatu hak masyarakat
hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar serta ke dalam.
Dalam cakupan hak ulayat ini terdapat hak individual atas tanah yaitu hak yang
lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah
(kosong). Hubungan antara hak ulayat ( yang dimimiliki oleh masyarakat hukum
sebagai suatu kesatuan ) dengan hak individual merupakan hubungan yang
lentur/fleksibel (Afrizal, 2006).
Bagi masyarakat tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang
bersifat kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan apapun, di samping itu
tanah berfungsi sebagai tempat tinggal bagi warga masyarakat dan tempat mereka
mencari kehidupan dan sebagai tempat nantinya di mana mereka akan dikuburkan
kalau meninggal dunia. Oleh karena itu tanah adat erat kaitanya dengan
kewenangan dari masyarakat adat itu sendiri untuk menguasai tanah adat (tanah
ulayat) tersebut. Karena tanah memiliki makna yang multidimensional bagi
kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris, maka setiap orang akan berusaha
memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang
istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan
kompleks.
Fenomena yang terjadi saat ini di masyarakat bahwa memang
banyak terjadi masalah- masalah sosial seperti adanya sengketa tanah. Sengketa
tanah ini terjadi dalam tiga golongan yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan
bisnis (pengusaha). Mereka memperebutkan sumber-sumber agraria yang dapat
berupa lahan , bahan tambang, dan sumber air. Perebutan tersebut menampilkan
isu-isu hak-hak masyarakat setempat terhadap sumber-sumber agraria berlawanan
dengan hak-hak negara.
Masing-masing pihak mengklaim bahwa sumber-sumber agraria
milik mereka. Hal itulah mengakibatkan terjadinya perlawanan antara masyarakat
setempat dengan pemeritah. Dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa
tersebut harus dilakukan dengan cara tidak saling dirugikan atau diuntungkan
salah satu pihak, baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat atau
singkatnya harus menemukan solusi yang baik dari berbagai pihak. Namun fakta
yang terjadi dilapangan bahwa perebutan tanah tersebut akan dimenangkan oleh
pihak yang memiliki modal atau berkuasa.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa
administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan,
transaksi pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak
pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian
sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana
masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan,
kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan.
Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada
masyarakat pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah
tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para
pemilik modal, pengembang perumahan- perumahan mewah, maupun sejumlah proyek
milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam
praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat
setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah.
Penggusuran tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan
negara atas nama pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan
kepentingan individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut
biasanya dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak
adil bagi pemilik tanah.
Hasil penelitian Suardi (2004) menunjukkan bahwa adanya konflik agraria
yang terjadi dilatarbelakangi oleh keadaan yang dia jelaskan sebagai berikut;
pertama, terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang cukup tajam pada dua desa
penelitian. Kedua, perlawanan petani muncul yang disebabkan beberapa faktor;
(a) kebijakan disektor perkebunan yang cenderung lebih menguntungkan pemilik
modal besar, (b) kapitalisasi sektor perkebunan menyebabkan disatu pihak
terakumulasinya tanah di bawah penguasaan pemilik modal besar, di sisi lain
petani menjadi termarginalkan, (c) kondisi social ekonomi petani yang buruk
karena tanah sebagai sumber mendapatkan nafkah hidup penguasaannya didominasi
oleh sekelompok kecil pemilik modal. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan \ bahwa
perlawanan petani di dua Desa didasari keinginan melepaskan diri dari keadaanya
yang subsistens akibat ketidakadilan struktur agrarian dalam rangka memperbaiki
dan meningkatkan taraf hidupnya.
Sengketa, konflik dan perkara pertanahan sepertinya tidak pernah surut,
bahkan cenderung terus meningkat baik intensitas maupun keragamannya, seiring
dengan semakin sulitnya akses untuk memiliki tanah dan bertambahnya kesenjangan
posisi tawar-menawar antara ketiga aktor pembangunan yakni pemerintah, swasta
dan masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
Penyebab permasalahan tentang sengketa tanah tidak tuntas
atau tidak terselesaikan di karenakan penanganan persoalan yang kurang tepat
atau tidak tuntas pada masa yang lalu. Di samping kenaikan harga tanah yang
meningkat menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun
tanpa didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi
bertambah rumit bila ada campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik.
Masalah akan sulit diselesaikan apabila para pihak merasa paling benar dan
tidak mau bermusyawarah.
Di tambah lagi sebagian besar persoalan yang muncul berkaitan dengan
kasus-kasus pertanahan (khususnya tanah perkebunan) di seluruh Indonesia
disebabkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa
perkebunan dengan masyarakat yang bermukim di sekitarnya dan disertai adanya
intervensi negara yang masih dominan didukung pula dengan perlakuan yang
represif dari militer dengan dalih “demi dan atas nama” stabilitas nasional.
Kondisi sebagaimana gambaran di atas sebenarnya bukan suatu hal yang
baru tetapi merupakan sebuah problem yang sudah lama ada, akan tetapi baru pada
saat sekarang ini nampak mengedepan, karena faktor kebebasan dan euphoria yang berlebihan dari perubahan
rezim yang awalnya otoriter ke rezim yang lebih longgar.
Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960)
seharusya problem pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya
menyisakan problem yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang,
yakni pertama, masih cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini
belum ada penjabaran yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah.
Kedua, ada juga UU pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999
(LN. 167 tahun 1999), yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan besar loging kayu hutan alami dimana jelas ada
intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh
penduduk pribumi (woeste gronden)(
Pelzer, 1991:10).
Oleh karena itu, dalam pandangan teori konflik melihat
bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan
(Wikipedia, 2015)).
Teori konflik menegaskan bahwa konflik adalah sebuah
keniscayaan dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam
masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan di antara beberapa
tokoh. Dahrendorf meskipun menerima teori konflik Karl Marx mengenai
pertentangan klas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan
sosial. Namun dia memodifikasinya berdasarkan perkembangan yang terjadi
akhir-akhir ini.
Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan
klas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar
perbedaan klas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang
menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran klas. Klas yang
dimaksud adalah klas yang berkuasa dan dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa
pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai
pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan (Wikipedia 2015).
Dahrendorf melihat bahwa terbentuknya klas sosial tidak
selalu deterministik ekonomi, akan tetapi pada perkembangannya struktur
politiklah (tentang kekuasaan) yang dominan membentuk klas sosial (yang
berkuasa dan dikuasai).
Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain
dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang
terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap
kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superordinat dan kelompok
yang dikuasai sebagai subordinat. Dalam konflik agraria hubungan antar orang
atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang
terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi terjadi karena adanya
dominasi atas penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh kelompok
superodinat yang menyebabkan kelompok subordinat terabaikan dari hak-haknya.
2. Perlawanan Petani dalam Konflik Agraria di Indonesia
Berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan
pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk
mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai
oleh orang Belanda. Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan
Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan
pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh
petani. Dengan adanya hal itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan
tentang pertanahan.
Kebijakan pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi
pergantian pemerintahan. Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan
pembangunan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya
perubahan persepsi terhadap fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang
sangat unik sifatnya. Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi
modal. Perubahan ini berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan
yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih
memihak pada kepentingan kapitalis.
UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk
seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Hal ini disebabkan munculnya
sejumlah undang-undang lain yang justru
bertentangan dengan UUPA diterapkan, Berlakunya undang-undang ini menyebabkan
hak- hak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi
terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para pemilik modal
(Fauzi, 1999: 158).
Akibatnya yang terjadi adalah rakyat kecil kehilangan tanah
oleh mereka yang memiliki modal yang sekarang menjadi oligarki politik. Mereka
adalah yang punya uang atau yang punya politik, jadi tidak ada yang berjuang
untuk rakyat. Pada masa Orde Baru pemerintah telah menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program
tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang
kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria. Ketimpangan
struktur dan penguasaan lahan adalah realitas sosial yang menyedihkan dan
memiskinkan petani. Pemerintah terus menyetujui pembangunan perkebunan yang
harus merampas tanah-tanah hak ulayat rakyat di berbagai daerah.
Akibat dari kebijakan pemerintah tentang pembangunan perkebunan telah
memarjinalkan pengelolaan sumber-sumber agraria oleh komunitas lokal yang
berbasis hukum adat dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada
kepentingan komunitas lokal yang dijalankan dengan cara tertentu, perilaku
aparat negara dalam mengelola pembangunan dan perilaku bisnis yang
mengeyampingkan aspirasi dan hak komunitas lokal maka terjadilah perlawanan
penduduk atau komunitas lokal untuk menuntut hak-hak agraria mereka.
Tuntutan-tuntutan itu berupa tuntutan atas rasa keadilan oleh penduduk
atau komunitas lokal yang tanahnya diambil secara paksa atau diklaim sebagai
tanah milik pemerintah dengan cara-cara kekerasan atau dengan cara-cara yang
tidak menghargai masyarakat sebagai subjek dalam hal ini penduduk atau
komunitas lokal yang telah lama memiliki tanah tersebut, atau sebagai kelompok
yang mempunyai kepentingan yang harus dilindungi oleh aparatur negara atau
bisnis. Hal inilah yang membuat banyak petani di Indonesia melakukan
protes-protes atau perlawanan semenjak bergulirnya reformasi untuk menuntut hak
mereka terhadap tanah yang telah lama dukuasai oleh perusahaan atau pemerintah.
Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu
terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini
terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang
seringkali memunculkan perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga
bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar
berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.
Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat
tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott (2000:40) sebagai bentuk
perlawanan sehari-hari (everyday forms of
resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang
biasa-biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan
orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa,
dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk
aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang
dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak
perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah
terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang
dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk
perlawanan ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di
belakang, mencuri kecil-kecilan, dan sebagainya.
Perlawanan petani yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia juga
menggejala di Sulawesi Tengah. Sejak
sebelum reformasi perlawanan dan resistensi petani yang menandai konflik
agraria di daerah ini paling tidak berkaitan dengan tiga isu utama yaitu,
pertama, penguasaan tanah perkebunan yang sukup luas oleh perusahaan swasta.
Kedua, penguasaan hutan oleh perusahaan swasta yang memperoleh hak penguasaan
hutan (HPH) dari pemerintah. Ketiga, alih fungsI lahan pertanian ke-non
pertanian yang biasanya dilakukan dengan cara-cara paksaan, intimidasi, dan
ganti rugi yang tidak layak. Baik penguasaan tanah perkebunan, maupun
panguasaan hutan serta alih fungsi lahan cenderung menjauhkan akses petani
terhadap sumber- sumber daya agrarian tersebut (Rasyid, 2004)
Budianto (2015) dalam penelitianya tentang perlawanan petani dalam
konflik agraria antara masyarakat Takalar dengan PTPN XIV menyatakan bahwa
konflik agraria di Kabupaten Takalar merupakan sengketa atas lahan yang diklaim
oleh masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) sebagai
pemiliknya atas dasar kepemilikan dan penguasaan secara turun temurun serta
batas waktu kontrak 25 tahun yang dipahami oleh mereka terhitung sejak tahun
1980. Di lain sisi, pihak PTPN XIV menguasai lahan dengan dasar kepemilikan hak
guna usaha (HGU). Selain dasar klaim kepemilikan yang menyebabkan perlawanan
petani terhadap penguasaan lahan oleh PTPN XIV, faktor yang turut mendorong
perlawanan petani, yaitu faktor sosial ekonomi karena sejak penguasaan lahan
oleh PTPN XIV, sangat banyak dampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Selanjutnya Weber (dalam Ritzer, 2007) merupakan kemampuan orang atau
kelompok memaksakan kehendaknya kepada pihak lain walaupun ada penolakan
melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau
individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di
tengah-tengah mereka. Keadaan ini yang kemudian akan mmenimbulkan kondisi yang
sering kali berujung pada tindakan kekerasan.
Bagi masyarakat atau penduduk setempat, mereka melakukan
aksi-aksi kolektif untuk mempertahankan tanah yang mereka miliki, untuk menuntu
ganti rugi yang layak, untuk menuntut royalti atau pembayaran tetap atas tanah
ulayat mereka yang dipakai oleh bisnis untuk keperluan akumulasi kapital, dan
untuk menagih janji perusahaan dan pemerintah. Aparat pemerintah dan manejemen
perusahaan cenderung memakai cara sederhana dan cepat untuk memecahkan masalah,
dengan cara melakukan aksi-aksi kekerasan dengan melibatkan pihak keamanan
polisi dan tentara.
Lucas dalam Afrizal mengatakan bahwa Fenomena konflik agraria di
Indonesia sebagai fenomena yang penuh dengan penindasan dan kekerasan
(2006:15). Hal inilah yang membuat aktivis-aktivis lokal protes agraria
melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan
komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh
masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak
perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui
langsung para pejabat yang bersangkutan. Namum usaha-usaha damai yang dilakukan
oleh masyarakat tidak ditanggapi oleh pihak pemerintah atau perusahaan.
PENUTUP
Kesimpulan :
Berdasarkan uraian diatas kita simpulkan bahwa Sengketa
tanah dapat terjadi akibat adanya keinginan untuk menguasai sumber daya tanah.
Selain itu ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah untuk kepentingan
tertentu sehingga terjadilah Konflik agraria dan perebutan tanah adat, bahkan
konflik agraria saat ini semakin massif dengan fenomena yang semakin menonjol
adalah pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan
pemerintah maupun proyek-proyek perusahaan swasta dalam rangka mengejar
pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya konflik agraria dan sengketa tanah adat
merupakan sumber daya yang selalu mengorbankan rakyat secara terus menerus.
Adapun bentuk perlawanan masyarakat yaitu dengan melakukan aksi-aksi yang
bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa
cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam
menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak
setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang
bersangkutan.
Saran :
Dari pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis kiranya penting
memberikan saran dalam tulisan ini sebagai masukan dalam mencegah atau
menghadapi konflik yang terjadi. Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Kepada seluruh elemen terkait
khususnya institusi pemerintahan mulai dari pemerintah Kabupaten Sinjai ,
Provinsi Sul-Sel hingga Nasional, agar dapat
mempertimbangkan situasi objektif
tuntutan masyarakat . Hal ini ditujukan agar dapat menemukan satu resolusi
konflik yang berkeadilan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut.
2.
Kepada pihak Pemerintah agar dapat
meningkatkan perhatian terhadap problem-problem masyarakat sekitar, terutama
pada persoalan kebutuhan masyarakat, dukungan terhadap kegiatan-kegiatan
kemasyarkatan serta instansi pemerintahan desa dan kecamatan setempat.
3.
Diharapkan kepada seluruh pimpinan
organisasi STP agar dapat mengkoordinasikan seluruh anggota masyarkat yang
dinaungi oleh organisasi. Hal ini ditujukan untuk lahirnya sinergitas antara
kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam solusi yang akan dihasilkan agar
tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA